Saturday, May 5, 2012

Regrets (Part II)

Sudah dua tahun sejak kejadian itu.
Kejadian yang betul-betul mengubah hidupku.

Papa meninggalkanku dan mama.
Hanya menyisakan apartment.
Ntah siapa yang pantas kusalahkan disini.

............................................................................

Daniel mengajakku keluar.
Aku sempat ragu dengan ajakannya, tapi aku menerimanya.

Aku menggunakan celana panjang hitam, dan atasan tang-top putih, syal cream yang serasi dengan kupluk.

Aku memandangi diriku di cermin besar. Terhanyut oleh mata dan wajah yang sudah sekian lama tidak berekspresi.

Tidak berapa lama, suara bel menyadarkanku.

Aku membukakan pintu. Daniel.

Dia memakai kaus hitam lengan panjang, dengan celana panjang sederhana. Sangat sederhana. Tapi ntah mengapa, itu terlihat sangat mempesona ketika ia yang mengenakan.

Dia mengeluarkan dua tiket pertunjukan sirkus, sambil tersenyum kepadaku. Oh Tuhan, matanya. Bahkan mengalahkan kemurnian batu mahal manapun, dan itu sangat serasi dengan rambutnya yang hitam.

Kami turun dari apartment, dan mendapati sebuah mobil putih sudah parkir.

Aku tidak tau, bahwa profesi sebagai psikiater sangat menguntungkan!

Ya, dia psikiater yang di sewa mama untukku.

'Aku tidak tau, kalau jalan-jalan juga termasuk terapi.' Kataku sambil memasang sabuk pengaman. Aku meliriknya. Dia hanya meringis lucu.

'Sudah tugasku membuatmu merasa lebih baikan.'




Wow! Ini adalah sirkus yang sangat besar!
Aku tidak tau ada tempat seperti ini.

'Ini baru.' Katanya seakan baru saja membaca pikiranku.
Dia menggenggam tanganku, menarikku masuk ke dalam stadium.

Kami duduk di bagian pojok paling depan.
Posisi yang sangat menguntungkan.

Penonton semakin ramai, dan musik memegahkan suasana. Seorang lelaki tua kerdil berjalan ke tengah panggung, sepertinya ia pembawa acara.

Flash-flash kamera semakin memeriahkan acara ini, dan itu menggaggu.

'Kau tau? Terlalu banyak flash kamera! Aku tidak bisa...' aku menghentikan perkataanku ketika melihat yang duduk di sebelahkulah salah seorang pelakunya.

'Ahahaha maaf, aku tidak tau kau terganggu.' Daniel memasukkan kameranya ke dalam tas. Itu kamera yang mahal.

Aku jadi tidak enak. Dia mengajakku kesini untuk menghiburku, dan? Hiburannya baru aja kurusak.

'Kau menyukai photography?' tanyaku.

'Ya, aku sudah menyukainya bahkan saat aku masih kecil. Ahaha.' Dia menerawang ke atas, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. 'Aku sempat berpikir untuk menjadi seorang photographer, tapi sepertinya aku tidak terlalu bagus dalam hal ini. Dan aku menjadikan photography sebagai hobi sekarang.'

Dia cerewet sekali.

Aku hanya menjawab dengan seadanya, dan diam.
Menikmati sirkus. Oh ayolah! Aku datang kesini bukan untuku mendengarkan cerita masa kanak-kanaknya! Ada dua badut jelek yang menunggu tawaku di atas panggung sana..

30 menit berlalu begitu saja. Gak satu pun dari badut-badut menyeramkan itu yang berhasil membuatku ketawa. Lucu, tapi aku tidak tertawa. Sial.

Pertunjukan semakin meriah, dan flash kamera semakin bertumpuk menyilaukan mata. Aku menyipitkan mata, mencoba pertunjukan. Kepala pusing.

Tepuk tangan, ketawa, flash kamera, teriakan, cemooh, warna-warni, musik. Seakan semua menjadi slowmotion. Semuanya membuatku menjadi....

'Kau baik-baik saja?' tanya Daniel sambil memegang siku tanganku. 'Kau terlihat pucat.'

Aku menggeleng.

'Kau tau? Kita bisa keluar sekarang bila kau mau.' tanyanya dengan khawatir. Terlihat jelas dari alis mataya yang mengkerut.

'Aku baik-baik saja.' Kebohongan yang sempurna.

(To be continue.. Regrets III)

No comments:

Post a Comment