Saturday, May 5, 2012

Regrets (Part I)

Hujan lebat.
Orang-orang berlarian mencari tempat untuk berteduh. Motor memacu kecepatan, menghindari setiap rintik hujan yang sudah pasti.
Aku duduk di pojokan, jendela besar, duniaku.



Seandainya, saat itu aku bisa menghindarinya.
Seandainya, saat itu aku menolak ajakannya.
Seandainya, saat itu ...
...............................................................................................



Mama mendapatiku sedang duduk dibalik tirai jendela kamarku. membawakanku secangkir teh dan toast bakar. Aku mencium aroma srikaya, ya... Ini makanan kesukaanku dan papa.

'Sayang, kamu mau mama suapkan?' Mama mengambilkanku sepotong, dan menyuapiku.

Aku melihat wajahnya, mataku begitu liar memperhatikan senyumannya, kerutan-kerutan yang menghiasi di ujung mata dan senyumannya. Dia merapikan tempat tidurku, mematikan lampu, menghidupkan penghangat ruangan...
Aku tau, sebetapa bajingannya aku ini.

'Nessa, hari ini... Mama akan mulai kerja. Menjadi waitress.. ya.. walau gajinya tidak seberapa, setidaknya ini bisa membantu keuangan kita..'
Ia mengelus kepalaku.

Mama hari ini mulai kerja, seperti katanya.
Ia terlihat rapi sekali, aku tidak ingat kapan terakhir mama begitu rapi seperti ini.
Dia membuka pintu apartment, dan berbalik untuk melemparkan senyum kepadaku, lalu pergi.





Aku tidak bisa menahan air mata.
Ini semua salahku.
'Aaaaa!!' Aku berteriak dan membanting tubuhku ke lantai. Berteriak, menangis, ingin rasanya aku mengakhiri semua.


Aku ingin membakar diriku! Ingin mencabik-cabiknya! Inginmenghancurkannya! Aku ingin menghilang!

Sebelum aku sadar bahwa aku ini sudah hancur.



................................


Pukul 3 siang, ahh.... si pria tolol itu akan datang.
Ya, mama menyewa seorang psikiater untukku, dan berharap akan menjadi temanku.


Tidak lama, pintu apartment terbuka, seorang pria putih dengan kemeja hitam masuk menghampiriku. Rambutnya hitam dengan sedikit highlight silver, tidak terlihat norak jika dipasangkan dengan matanya yang hitam mengkilat.

'Vanessa, sudah bisa berdiri?' Aku hanya mengangguk. Bodoh!

'Kau terlihat sehat dan ceria hari ini..' Dia tersenyum kepadaku. You've got be kidding me!

Dia mendudukkanku di kursi ruang tamu, dan lalu duduk di depanku, terpisahkan oleh meja kecil.


Sudahkah aku bilang? Kalau dia ini blasteran korea dan amarica latin? Papanya seorang korea, sedangkan mamanya terdahulu adalah seorang america latin. Sekarang dia tinggal bersama papa dan mama tirinya yang sama-sama korea.

Jangan salah sangka bisa aku mengetahui semuanya. Dia sendiri yang menceritakannya.

'Jadi? Bagaimana?' Dia memiringkan kepalanya. 'Kau siap kalau hari ini kita akan jalan-jalan?'

Aku menggeleng. Tentu saja. Apa lagi yang kau harapkan?

'Ya sayang sekali, padahal ini awal musim gugur.. dan aku ingin menunjukkan daun-daun yang terjun bebas dari pohonnya, kepadamu... ahaha'

Daun-daun yang terjun bebas? Apa menariknya?! Kau mau aku tunjukkan, seorang gadis terjun bebas dari apartment lantai 8 didepan mata kepalamu sendiri?!

'Ya, sayang sekali.' jawabku setelah berpikir keras mencari kata yang layak.

'Bukan masalah. Kau mau aku siapkan teh untukmu?'
Dia berdiri dan langsung menuju dapur kecil kami.
Mama memberinya izin atas apartment ini, bahkan saat dia baru pertama kali datang kesini.

Selang berapa lama, dia kembali duduk dengan membawa dua cangkir teh. Tersenyum.

'Kau tau, kau bisa memulainya kapan pun.' Aku hanya memiringkan kepalaku.

'Iya.. maksudku.. menceritakan semua.. hanya bila kau siap.. buka berarti aku memaksa.. hanya saja ini atau mungkin kau.. ya menurutku.. kau bisa merasa..' Dia kebingungn sendiri mencari kata, tapi aku mengerti apa yang dia maksud.

Dan bodohnya? Air mataku jatuh. Perfect!
Kenapa harus di depan si bodoh ini sih?!
Aku menundukkan kepalaku, membiarkan rambutku jatuh menutupi wajah dan berusaha agar cangkir teh yang ku pegang tidak jatuh menghantam lantai.

Aku rasa dia menyadarinya, karena dia terdiam.
Aku tidak tau apa yang dia lakuka, aku terus menundukka, menahan keras air mataku, menggigit bibir.

Tiba-tiba dia sudah berlutut didepanku, dan mengangkat daguku. Mengelap air mata yang justru semakin deras mengalir. Aku terisak.
Aku terbenam melihat pupil hitamnya, bagaikan lautan di malam hari. Sendu dan sejuk.

Aku kira dia akan menertawakanku, nyatanya dia diam, serius.
Sungguh memalukan.

(To be continue... Regrets part II)


No comments:

Post a Comment