Sunday, May 27, 2012

Felix !

:D 
I got new little brother!
LOL

He is mine now..! yeyey!
Finally.. i'm not the only kid anymore! (actually, still.. he is my step =.= .. but.. yeah whatever)

Look at this!







Friday, May 18, 2012

Regrets (Part III)

Akhirnya Daniel memutuskan untuk pulang.
Meskipun aku sudah mengatakan bahwa aku baik-baik saja.
Tetapi dengan alasan...

"....kau adalah pasienku Vanessa.. tidak mungkin aku membiarkanmu begitu saja, disaat keadaanmu
tidak baik begini..." terangnya berulang-ulang. Aku rasa dia sudah mengatakan itu enam atau tujuh kali mungkin.

Kami berjalan dengan sangat lambat sekali. Dia memegang sikuku, berpikir... atau berharap mungkin? Kalau-kalau saja aku akan jatuh.

Selama perjalanan-yang-lambat-menuju-parkiran-itu, tak jarang dua-tiga orang memperhatikan kami.
Tukang asongan pinggir jalan yang menggoda kami, anak-anak kecil yang kejar-kejaran dan mengelilingi kami sambil berteriak, sedang kan ibu mereka sibuk mengobrol di kursi taman bermain. TIDAK KAH MEREKA BERNIAT MEMAKI DAN MENJAMBAK ANAK-ANAK INI KARENA MENGGANGGU ORANG LAIN?!!

Halaman sirkus ini luas sekali, berhadapan dengan lapangan parkir yang luas dan langsung menuju ke jalan raya. Kiri-kanannya sengaja di buka taman bermain, ada bianglala, rollercoaster, komedi putar... dan entahlah. Langitnya gelap sekali. Tetapi indah penuh bintang.

"Akan aku buka kan pintunya..." kata Daniel, sambil merogoh koceknya, dan mengambil kunci mobil, lalu membukakan pintunya untukku. Selama sepersekian detik itu, tidak sedetik pun dia melepaskan tangannya dari sikuku.

Aku masuk kedalam mobil, tidak berani memandangnya. Justru memandang lurus kedepan menembus kaca depan mobil. "Daniel, kau tau...."

"DANY!!" Seseorang teriak dari belakang. Daniel langsung menoleh, dan melepaskanku. Kurasa dia tidak mendengar kalau-kalau aku mau ngomong tadi! Jangan-jangan dia kira itu adalah cicitan tikus yang menyelinap ke dalam mobilnya, dan siapa tau siap ini dia akan menyemprotkan ... ahh sudahlah.

"Dany! Aku tidak menyangka kita akan bertemu di tempat seperti ini!" Kata seseorang yang berteriak tadi. Seorang wanita yang sangat rupawan. Model? hanya itu mungkin yang menggambarkan. Tinggi, langsing, ya ampun... kulitnya mulus sekali!
Hei-hei.. aku tidak menyentuhnya.. tetapi dia berdiri pas didepan pintu mobil dan berhadapan dengan Daniel... sangat dekat untuk dapat menilai semuanya.

Mereka berbincang dengan sangat lancar dan .. terlihat seru sekali.. ya seru sekali... sedangkan aku disini bagaikan kambing congek... mbikk.. mbikk..

"Ah! Ahaha.. siapa gadis yang bersamamu ini? Kekasihmu?" Tanyanya sembari melihatku, akhirnya salah satu dari mereka menyadari kehadiranku. Tunggu? aku tidak mengembik betulan kan tadi?

"Hahaha, aku lupa mengenalkan.. Tarra.. ini Vanessa... dan Vanessa.. ini Tara teman lamaku, sekaligus model terbaik..." canda Daniel, dan mereka tertawa sangat lepas. Sangat lepas. Sesuai dugaanku, dia seorang model.

Tarra melihatku, dan tersenyum. Cantik sekali. "Hai, Vanessa.. senang berkenalan denganmu..."
Aku hanya membalas senyum terbaikku, bila itu tidak justru terlihat seperti kambing.


Aku kira salah satu dari mereka terlalu merindukan satu sama lain sampai-sampai tidak ada yang berniat mengakhiri pembicaraan. 10.30 . Sudah satu jam setengah, dan tidakkah mulut mereka ..

"Vanessa, apakah kau keberatan bila kita mengobrol lebih lama di pinggir taman?" tanya Tarra, sambil menunjuk ke cafetaria kecil.

"Tidak, tidak.. Tarra... Vanessa, sedang dalam keadaan tidak baik.. dan aku harus mengantarkan dia pulang sesegera mungkin..." Potong Daniel dengan cepat.

"Yah, sayang sekali..."

"Tidak, aku baik-baik saja.. Ayo..." Kataku, turun dari mobil.

"Maaf sekali Tarra, .... " Potong Daniel lagi, menahanku untuk tetap dimobil.

"Ya sudahlah, ahaha maaf ya, Vanessa.. aku tidak tau seberapa buruk kondisimu, dan malah mengajak Daniel berbincang-bincang. Maaf sekali. Mungkin lain kali saja." Katanya sambil tersenyum.

"Besok, Tarra. Ditempat biasa." Jawab Daniel, lalu pergi meninggalkan Tarra, kembali ke mobil.

Aku membuka kaca, dan melambai kepadanya. Seiring dengan kepergian kami, aku tetap memandanginya dari jendela mobil, aku merasa bersalah dengannya. Langit diatasnya dipenuhi dengan kembang api.

Astaga! Kembang api!

"Daniel... kembang api!" aku berusaha semaksimal mungkin menahan suaraku agar tidak terlihat terlalu antusias dan kampungan.

"Ya, aku tau... setiap jam 11 selalu ada acara kembang api disini..." jawabnya datar.

SIAL!



Furrrr~












Unlucky

My laptop was stolen two days ago. Damn.
When i came home (2.p.m) , i found my window already broken.
As fast as, i called everyone for their help..
well.. that was sucks...
I saved my project for my client and all my datas in that laptop!
And my camera's memory card~ !
What should i say to my client?!



I told my dad..
He sent me money to buy new laptop in the same day (5 p.m)
Then, me and my mom went to the plasa computer.
I bought Sony Vaio intel core i7 .. hihihihi

well, actualy.. the most important is my datas and photos..
=.= sucks.
well, that such an important!











Saturday, May 5, 2012

Regrets (Part II)

Sudah dua tahun sejak kejadian itu.
Kejadian yang betul-betul mengubah hidupku.

Papa meninggalkanku dan mama.
Hanya menyisakan apartment.
Ntah siapa yang pantas kusalahkan disini.

............................................................................

Daniel mengajakku keluar.
Aku sempat ragu dengan ajakannya, tapi aku menerimanya.

Aku menggunakan celana panjang hitam, dan atasan tang-top putih, syal cream yang serasi dengan kupluk.

Aku memandangi diriku di cermin besar. Terhanyut oleh mata dan wajah yang sudah sekian lama tidak berekspresi.

Tidak berapa lama, suara bel menyadarkanku.

Aku membukakan pintu. Daniel.

Dia memakai kaus hitam lengan panjang, dengan celana panjang sederhana. Sangat sederhana. Tapi ntah mengapa, itu terlihat sangat mempesona ketika ia yang mengenakan.

Dia mengeluarkan dua tiket pertunjukan sirkus, sambil tersenyum kepadaku. Oh Tuhan, matanya. Bahkan mengalahkan kemurnian batu mahal manapun, dan itu sangat serasi dengan rambutnya yang hitam.

Kami turun dari apartment, dan mendapati sebuah mobil putih sudah parkir.

Aku tidak tau, bahwa profesi sebagai psikiater sangat menguntungkan!

Ya, dia psikiater yang di sewa mama untukku.

'Aku tidak tau, kalau jalan-jalan juga termasuk terapi.' Kataku sambil memasang sabuk pengaman. Aku meliriknya. Dia hanya meringis lucu.

'Sudah tugasku membuatmu merasa lebih baikan.'




Wow! Ini adalah sirkus yang sangat besar!
Aku tidak tau ada tempat seperti ini.

'Ini baru.' Katanya seakan baru saja membaca pikiranku.
Dia menggenggam tanganku, menarikku masuk ke dalam stadium.

Kami duduk di bagian pojok paling depan.
Posisi yang sangat menguntungkan.

Penonton semakin ramai, dan musik memegahkan suasana. Seorang lelaki tua kerdil berjalan ke tengah panggung, sepertinya ia pembawa acara.

Flash-flash kamera semakin memeriahkan acara ini, dan itu menggaggu.

'Kau tau? Terlalu banyak flash kamera! Aku tidak bisa...' aku menghentikan perkataanku ketika melihat yang duduk di sebelahkulah salah seorang pelakunya.

'Ahahaha maaf, aku tidak tau kau terganggu.' Daniel memasukkan kameranya ke dalam tas. Itu kamera yang mahal.

Aku jadi tidak enak. Dia mengajakku kesini untuk menghiburku, dan? Hiburannya baru aja kurusak.

'Kau menyukai photography?' tanyaku.

'Ya, aku sudah menyukainya bahkan saat aku masih kecil. Ahaha.' Dia menerawang ke atas, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. 'Aku sempat berpikir untuk menjadi seorang photographer, tapi sepertinya aku tidak terlalu bagus dalam hal ini. Dan aku menjadikan photography sebagai hobi sekarang.'

Dia cerewet sekali.

Aku hanya menjawab dengan seadanya, dan diam.
Menikmati sirkus. Oh ayolah! Aku datang kesini bukan untuku mendengarkan cerita masa kanak-kanaknya! Ada dua badut jelek yang menunggu tawaku di atas panggung sana..

30 menit berlalu begitu saja. Gak satu pun dari badut-badut menyeramkan itu yang berhasil membuatku ketawa. Lucu, tapi aku tidak tertawa. Sial.

Pertunjukan semakin meriah, dan flash kamera semakin bertumpuk menyilaukan mata. Aku menyipitkan mata, mencoba pertunjukan. Kepala pusing.

Tepuk tangan, ketawa, flash kamera, teriakan, cemooh, warna-warni, musik. Seakan semua menjadi slowmotion. Semuanya membuatku menjadi....

'Kau baik-baik saja?' tanya Daniel sambil memegang siku tanganku. 'Kau terlihat pucat.'

Aku menggeleng.

'Kau tau? Kita bisa keluar sekarang bila kau mau.' tanyanya dengan khawatir. Terlihat jelas dari alis mataya yang mengkerut.

'Aku baik-baik saja.' Kebohongan yang sempurna.

(To be continue.. Regrets III)

Regrets (Part I)

Hujan lebat.
Orang-orang berlarian mencari tempat untuk berteduh. Motor memacu kecepatan, menghindari setiap rintik hujan yang sudah pasti.
Aku duduk di pojokan, jendela besar, duniaku.



Seandainya, saat itu aku bisa menghindarinya.
Seandainya, saat itu aku menolak ajakannya.
Seandainya, saat itu ...
...............................................................................................



Mama mendapatiku sedang duduk dibalik tirai jendela kamarku. membawakanku secangkir teh dan toast bakar. Aku mencium aroma srikaya, ya... Ini makanan kesukaanku dan papa.

'Sayang, kamu mau mama suapkan?' Mama mengambilkanku sepotong, dan menyuapiku.

Aku melihat wajahnya, mataku begitu liar memperhatikan senyumannya, kerutan-kerutan yang menghiasi di ujung mata dan senyumannya. Dia merapikan tempat tidurku, mematikan lampu, menghidupkan penghangat ruangan...
Aku tau, sebetapa bajingannya aku ini.

'Nessa, hari ini... Mama akan mulai kerja. Menjadi waitress.. ya.. walau gajinya tidak seberapa, setidaknya ini bisa membantu keuangan kita..'
Ia mengelus kepalaku.

Mama hari ini mulai kerja, seperti katanya.
Ia terlihat rapi sekali, aku tidak ingat kapan terakhir mama begitu rapi seperti ini.
Dia membuka pintu apartment, dan berbalik untuk melemparkan senyum kepadaku, lalu pergi.





Aku tidak bisa menahan air mata.
Ini semua salahku.
'Aaaaa!!' Aku berteriak dan membanting tubuhku ke lantai. Berteriak, menangis, ingin rasanya aku mengakhiri semua.


Aku ingin membakar diriku! Ingin mencabik-cabiknya! Inginmenghancurkannya! Aku ingin menghilang!

Sebelum aku sadar bahwa aku ini sudah hancur.



................................


Pukul 3 siang, ahh.... si pria tolol itu akan datang.
Ya, mama menyewa seorang psikiater untukku, dan berharap akan menjadi temanku.


Tidak lama, pintu apartment terbuka, seorang pria putih dengan kemeja hitam masuk menghampiriku. Rambutnya hitam dengan sedikit highlight silver, tidak terlihat norak jika dipasangkan dengan matanya yang hitam mengkilat.

'Vanessa, sudah bisa berdiri?' Aku hanya mengangguk. Bodoh!

'Kau terlihat sehat dan ceria hari ini..' Dia tersenyum kepadaku. You've got be kidding me!

Dia mendudukkanku di kursi ruang tamu, dan lalu duduk di depanku, terpisahkan oleh meja kecil.


Sudahkah aku bilang? Kalau dia ini blasteran korea dan amarica latin? Papanya seorang korea, sedangkan mamanya terdahulu adalah seorang america latin. Sekarang dia tinggal bersama papa dan mama tirinya yang sama-sama korea.

Jangan salah sangka bisa aku mengetahui semuanya. Dia sendiri yang menceritakannya.

'Jadi? Bagaimana?' Dia memiringkan kepalanya. 'Kau siap kalau hari ini kita akan jalan-jalan?'

Aku menggeleng. Tentu saja. Apa lagi yang kau harapkan?

'Ya sayang sekali, padahal ini awal musim gugur.. dan aku ingin menunjukkan daun-daun yang terjun bebas dari pohonnya, kepadamu... ahaha'

Daun-daun yang terjun bebas? Apa menariknya?! Kau mau aku tunjukkan, seorang gadis terjun bebas dari apartment lantai 8 didepan mata kepalamu sendiri?!

'Ya, sayang sekali.' jawabku setelah berpikir keras mencari kata yang layak.

'Bukan masalah. Kau mau aku siapkan teh untukmu?'
Dia berdiri dan langsung menuju dapur kecil kami.
Mama memberinya izin atas apartment ini, bahkan saat dia baru pertama kali datang kesini.

Selang berapa lama, dia kembali duduk dengan membawa dua cangkir teh. Tersenyum.

'Kau tau, kau bisa memulainya kapan pun.' Aku hanya memiringkan kepalaku.

'Iya.. maksudku.. menceritakan semua.. hanya bila kau siap.. buka berarti aku memaksa.. hanya saja ini atau mungkin kau.. ya menurutku.. kau bisa merasa..' Dia kebingungn sendiri mencari kata, tapi aku mengerti apa yang dia maksud.

Dan bodohnya? Air mataku jatuh. Perfect!
Kenapa harus di depan si bodoh ini sih?!
Aku menundukkan kepalaku, membiarkan rambutku jatuh menutupi wajah dan berusaha agar cangkir teh yang ku pegang tidak jatuh menghantam lantai.

Aku rasa dia menyadarinya, karena dia terdiam.
Aku tidak tau apa yang dia lakuka, aku terus menundukka, menahan keras air mataku, menggigit bibir.

Tiba-tiba dia sudah berlutut didepanku, dan mengangkat daguku. Mengelap air mata yang justru semakin deras mengalir. Aku terisak.
Aku terbenam melihat pupil hitamnya, bagaikan lautan di malam hari. Sendu dan sejuk.

Aku kira dia akan menertawakanku, nyatanya dia diam, serius.
Sungguh memalukan.

(To be continue... Regrets part II)